Kerja keras tidak menghianati hasil, bukanlah sekadar pepatah sederhana pelecut semangat, karena kerja keras yang terbayar menjadi bukti bahwa segala usaha, perjuangan, dan pengorbanan yang digeluti seseorang akan mendapatkan hasil setimpal. Sebab hasil tak akan pernah mengkhianati usaha, cepat atau lambat, setiap usaha akan membuahkan hasil. Oleh karena itu harus berani menerima tantangan untuk merasakan nikmatnya kesuksesan. Namun mencapainya harus melakukan upaya terbaik secara konsisten.
Beberapa penggal kalimat tersebut boleh jadi pelecut semangat Syarif Hidayatullah untuk merengkuh mimpinya yang selalu dia baluti dengan doa dan kerja keras. Setiap malam, tangan gesit pemuda 22 tahun itu melayani para pembeli salome di lapak sederhana tepat di pojok Jalan Sultan Hasanuddin Kelurahan Sarae, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima. Lokasinya tidak jauh dari franchise restoran (KFC) di Kota Bima.
Selain salome goreng, menu yang dia jual juga bakso jumbo, tahu bakso, sosis goreng dan telur gulung. Salome goreng dan seluruh jenis makanan yang dia jual satu harga, yakni Rp10 ribu per tusuk. Rasa salome dan seluruh varian yang dia jual gurih dan sudah menyatu dengan lidah pelanggannya. Maka tak heran salome dan sosis goreng yang dia jual sudah terkenal seantero Kota Bima. Dalam satu waktu pembeli yang mengantri di depan lapaknya bisa mencapai 20 orang.
Setiap malam, Syarif mulai membuka lapak salome dan sosis goreng dari pukul 18.00 Wita hingga jam 12 malam. “Paling cepat selesai setiap malam itu jam 12 malam,” ujar Syarif.
Salome goreng dan sosis goreng dengan berbagai varian lain yang dia dijual bukanlah miliknya, melainkan usaha milik kakak iparnya, Kartono (38 tahun), warga kompleks perumahan Tolotangga Kelurahan Jatiwangi Kecamatan Asakota Kota Bima.
Dari hasil menjaga usaha penjualan sosis dan salome tersebut, dia mendapatkan upah dari kakak iparnya hingga jutaan rupiah setiap bulan, yang kemudian digunakannya untuk menambah kebutuhan hidup orang tuanya serta kebutuhan hidup dirinya sehari-hari.
“Kalau sekarang ini ada karyawan baru dari Rabadompu yang bantu penjualan setiap malam dan sudah buka cabang baru depan PKU Muhammadiyah,” ujarnya.
Syarif mengungkapkan, selain dirinya, sejumlah kerabatnya yang lain juga bekerja membantu proses pembuatan salome dan sosis goreng di rumah. Total karyawan yang bekerja lebih dari tiga orang. Sebagian membantu proses giling daging, memotong, mengukus salome dan tahu bakso serta membuat bahan telur gulung. Masing-masing karyawan diberikan upah hingga jutaan rupiah setiap bulan oleh saudara iparnya.
Dalam satu malam hasil penjualan yang dia dapat sampai Rp6 juta rupiah dan ditambah hasil penjualan dari lokasi baru di depan PKU Muhammadiyah Bima Rp2 juta, sehingga total dalam satu malam mencapai Rp8 juta. “Hasilnya sampai Rp6 juta di lokasi ini (Jalan Sultan Hasanuddin Kota Bima)” ujarnya.
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Mbojo Bima ini mengaku tak pernah keberatan dan gengsi jika setiap malam harus berjualan solome dan sosis goreng serta melayani para pembeli dari berbagai latar belakang ekonomi di sekitar pusat geliat ekonomi di Kota Bima.
Menurutnya, mahasiswa harus melatih kemandirian sejak dini. Bahkan dia sendiri sudah terbiasa bekerja saat duduk di bangku SMKN 1 Kota Bima, ketika alhmarhum bapaknya dan saudara iparnya Kartono membuka usaha odong-odong di Lapangan Serasuba Kota Bima.
Almarhum bapaknya dan saudara iparnya tersebut adalah orang pertama yang merintis usaha odong-odong di Lapangan Serasuba Kota Bima dan pernah mendapatkan hasil maksimal Rp1,2 juta per malam. Namun hasil usaha tersebut melorot setelah banyaknya warga lain yang mereplikasi usaha yang sama di lokasi yang sama.
Dari hasil usaha penjualan solome dan sosis goreng tersebut, saudara iparnya mampu membeli beberapa petak tanah, membeli kendaraan, membangun rumah hingga menggaji karyawan yang bekerja membantu usaha rumahan tersebut.
Syarif menceritakan, dia pernah mengajak pemuda lain untuk bekerja bersamanya membantu menjaga lapak salome dan sosis. Namun pemuda yang juga mahasiswa itu tidak betah. Dia tidak mengetahui penyebabnya, apakah karena masalah mental atau pertimbangan lain, walaupun akan diberikan hingga jutaan rupiah per bulan.
Sebelum memiliki usaha salome goreng dan sosis goreng yang laris manis seperti sekarang ini, saudara iparnya Kartono pernah jatuh bangun membangun usaha. Pernah merantau di Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) untuk berjualan salome keliliing menggunakan sepeda motor, kemudian membuka usaha odong-odong di Taliwang KSB. Setelah kembali ke Bima dan memboyong seluruh anggota keluarganya, kakak iparnya Kartono membuka usaha odong-odong di Lapangan Serasuba dan Lapangan Pahlawan Raba Kota Bima. Kakak iparnya yang merupakan pria asli Lombok tersebut juga sempat membuka usaha odong-odong hingga daerah Manggarai dan Ruteng Provinsi Nusa Tenggara Timur, saat usaha odong-odong di Kota Bima mulai lesuh karena semakin banyak orang yang membuka usaha yang sama.
Usaha di lokasi baru itu sempat mencapai hasil yang maksimal hingga jutaan rupiah per malam terutama saat ada pameran di lapangan. Namun odong-odong yang sempat dititipkan oleh saudara iparnya kepada kenalannya di salah satu daerah di NTT itu hilang.
Setelah usaha odong-odong tidak memberikan hasil maksimal hingga jutaan per malam dan tidak memiliki modal untuk kembali membeli odong-odong baru yang berkisar hingga Rp30 juta per unit, kakak iparnya Kartono kemudian memutar otak dengan kembali membuka usaha menjual salome keliling menggunakan sepeda motor hingga wilayah Kecamatan Bolo Kabupaten Bima.
“Alhamdulillah usaha salome dan sosis goreng sekarang kembali lancar,” ujar Syarif.
Kakak iparnya Kartono dan kakak kandungnya Neneng adalah sarjana pendidikan Bahasa Inggris. Saat duduk di bangku jurusan Usaha Perjalanan Wisata (UPW) SMKN 1 Kota Bima, kakak kandungnya Neneng Nurhasanah pernah mewakili Provinsi NTB pada lomba kompetensi siswa (LKS) Bahasa Inggris tingkat nasional. Kakak kandungnya, Neneng dan saudara iparnya Kartono juga pernah menjadi pramuwisata (guide) untuk wisatawan di Gili Terawangan Lombok Utara dan sempat membuka resto sederhana di gili tersebut. Kemudian sempat mengabdi sebagai salah satu tenaga pengajar di salah satu madrasah swasta di Kabupaten Bima. Karena gaji guru non-PNS hanya mengandalkan dari bantuan operasional sekolah (BOS), jauh di bawah standar, saudara iparnya kemudian memutuskan banting setir membuka usaha menjual salome hingga sukses seperti sekarang ini.
“Mungkin jalan hidup setiap orang berbeda-beda. Jadi sukses tidak harus jadi guru atau jadi PNS juga,” ujar mahasiswa yang aktif dalam Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR-PMI) STISIP Mbojo Bima dan PMI Kota Bima ini.
Sebelum sibuk kuliah dan bergelut dengan aktivitas berjualan salome dan sosis goreng seperti sekarang ini, purna Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) Kota Bima ini pernah mengikuti seleksi Secaba TNI-AD dan seleksi anggota Polri. Namun nasib belum membawanya menjadi abdi negara. Saat duduk di bangku SMK, Syarif pernah mewakili Kota Bima dan meraih juara 2 lomba lari 100 meter yang digelar di Kabupaten Sumbawa dan pernah menjadi duta Kabupaten Bima untuk pekan olahraga pelajar daerah (Popda) NTB untuk kategori atletik.
Setelah gagal seleksi TNI dan Polri, dia sempat hendak melanjutkan kuliah di Prodi PJKR Undikma dan STKIP Tamsis Bima karena minatnya pada bidang olahraga, namun atas saran keluarganya, dia kemudian melanjutkan pendidikan di Prodi Ilmu Komunikasi STISIP Mbojo Bima.
Syarif merupakan salah satu penerima beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) di STISIP Mbojo Bima, yang mendapatkan subsidi biaya pendidikan hingga Rp6 juta per semester. Sebelum dia masuk duduk di bangku perguruan tinggi, bapak kandungnya meninggal dunia. Dia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Seluruh kakaknya telah berumah tangga (*)