Pordasi Tutup Sementara Arena Pacuan
BIMA-Keberadaan joki cilik dalam even pacuan kuda memegang posisi penting. Hanya saja mereka ada di antara label budaya, eksploitasi dan rentan kehilangan nyawa.
Dalam kurun beberapa tahun terakhir, sudah tiga kecelakaan yang menewaskan tiga orang joki cilik.
Kecelakaan pertama dengan korban Salsabila Putra, 9 tahun asal Desa Roka meninggal dalam event pacuan kuda Panda tahun 2019.
Peristiwa kedua dengan korban Muhammad Alfian, 6 tahun asal Dusun Godo Desa Dadibou kecelakaan saat latihan di Panda dan meninggal dua hari setelah kecelakaan pada tahun 2022.
Kejadian ketiga dengan korban Muhammad Arjuna, 9 tahun asal Kelurahan Rabangodu Utara Kota Bima, meninggal saat latihan di Panda tahun 2023.
Pordasi Kabupaten Bima bersikap atas kecelakaan terakhir yang menewaskan AB dengan menutup sementara arena pacuan kuda Panda di Kecamatan Palibelo.
“Kita sudah koordinasi dengan Polres Bima agar menutup sementara waktu arena pacuan kuda,” ucap Ketua Pordasi Kabupaten Bima, Irfan dihubungi (15/8) kemarin.
Irfan menyampaikan bela sungkawa atas kecelakaan yang menewaskan AB, 9 tahun joki cilik asal Kelurahan Rabangodu Utara.
Irfan mengatakan, penutupan sementara arena pacuan dilakukan menyikapi insiden joki cilik. Penutupan ini sampai dengan waktu yang belum ditetapkan.
Camat Woha itu menjelaskan, kejadian kecelakaan tersebut saat ajang latihan rutinitas yang dilakukan para pecinta pacuan.
“Latihan ini bukan dalam rangka mempersiapkan even tertentu, tetapi murni rutinitas biasa para pencinta pacuan,” jelasnya.
Kaitan kritikan LPA soal Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak dikenakan korban saat insiden terjadi, dia tidak menyangkal hal itu.
Pengenaan APD terhadap para joki, sambung dia, telah diimbau agar diutamakan baik saat dalam sesi latihan dan terlebih saat pergelaran even resmi.
“APD ini harganya cukup mahal, dan hanya beberapa joki saja yang memilikinya. Pordasi punya APD untuk dipinjam oleh para joki,” tuturnya.
Terkait sisi eksploitasi anak sebagai joki cilik, menurut Irfan, sering diperdebatkan antara Pordasi dengan LPA.
“Ada dua sudut pandang berbeda. LPA melihatnya dari sisi eksploitasi anak, sementara Pordasi melihatnya dari sisi budaya yang sudah diakui sebagai warisan nasional,” timpalnya.
Menyusul adanya perbedaan pandangan, lanjut Irfan, lahir rumusan tentang persepsi antara pandangan budaya dengan eksploitasi. (man)