BIMA-Kepala Desa (Kades) Piong Kecamatan Sanggar, Ismail mengaku khilaf memblokir jalan hingga berujung pengeroyokan pengelola Pokdarwis Tampuro Jaya.
Hanya saja kejadian tersebut dipicu amarah yang bermula dari rasa tidak dihargai oleh jajaran Dinas Pariwisata Kabupaten Bima maupun pengelola Pokdarwis.
“Saya khilaf, tapi itu semua ada yang melatar belakanginya,” ucap Ismail dihubungi via WhatsApp, Rabu (13/9).
Ismail menceritakan awal mula peristiwa hingga terjadinya kasus pengeroyokan di lokasi wisata mata air Tampuro, beberapa hari lalu.
Suatu hari, cerita Ismail, menerima telepon dari Camat Sanggar, Ahmad, yang memberitahukan rencana kunjungan dari jajaran Dinas Pariwisata Kabupaten Bima di Kantor Camat Sanggar.
“Sebulan yang lalu, salah satu Kabid di Dinas Pariwisata pernah telepon saya menyampaikan rencana sertifikat lahan mata air Tampuro atas nama Pemkab Bima,” kisahnya.
Pada saat pembicaraan via sambungan seluler itu, masih kisah Ismail, sudah disampaikan keberatan atas rencana tersebut dengan alasan lahan mata air Tampuro adalah milih Desa Piong.
Singkat cerita, berlangsung pertemuan di Kantor Camat Sanggar bersama Kades Piong jajaran bersama Sekretaris Camat Sanggar dan pengelola Pokdarwis.
“Saat itu saya tidak melanjutkan rapat, karena telanjur emosi atas rencana sertifikat lahan Tampuro atas nama Pemkab Bima,” terang Ismail.
Sebelum kembali ke kampung, sambung Ismail, pernah menyampaikan kepada forum dalam rapat agar tidak pergi ke lokasi mata air Tampuro.
Namun, kata Ismail, beberapa saat setelah tiba di Desa Piong diperoleh kabar rombongan dari Dinas Pariwisata telah berada di lokasi mata air Tampuro.
“Kehadiran mereka di lokasi Tampuro benar-benar tidak menghargai saya selaku Kepala Desa di Piong,” ujarnya.
Ismail mengaku, emosi masyarakat yang mengetahui kejadian itu tersulut, bersama-sama berangkat ke lokasi mata air Tampuro.
“Masyarakat yang berangkat, ada yang membawa tombak, parang dan lain sebagainya. Mereka sudah emosi mengetahui Kepal Desa tidak dihargai oleh pendatang,” tuturnya.
Setiba di lokasi, lanjut dia, masyarakat menebang pohon dan memasukan batu di jalan masuk menuju lokasi mata air Tampuro meski di dalamnya ada rombongan.
“Saat itu saya sampaikan kepada Camat dan Kapolsek agar menghadirkan Bupati untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat kaitan persoalan yang terjadi, baru rombongan bisa keluar,” ujarnya.
Ismail mengaku, sebelum rencana sertifikat lahan mencuat warga Piong menuduh Kades Piong telah menjual aset mata air Tampuro.
“Tuduhan maupun fitnah ini lah yang mendasari saya untuk mempertahankan mata air Tampuro ini sebagai aset milik desa,” terangnya.
Tujuan menghadirkan Bupati, tambah Ismail, untuk menyampaikan langsung ke masyarakat kaitan rencana sertifikat lahan tersebut atas nama Pemkab Bima.
Keinginan Kades menghadirkan Bupati tidak terpenuhi, namun rombongan telah dikeluarkan dari lokasi yang diblokir.
“Saya dikasi tau oleh warga rombongan telah keluar dari lokasi. Hal itu membuat saya emosi. Saya menganggap benar-benar tidak dihargai,” ujarnya lagi.
Ismail menuju ke lokasi mata air Tampuro dan mengamuk, sehingga terjadi penganiayaan terhadap pengelola Pokdarwis Tampuro Jaya.
“Pengelola Pokdarwis ini rupanya sudah setahun lalu MoU dengan Dinas Pariwisata, dan saya tidak dikasi tau. Padahal Pokdarwis awalnya saya yang membentuk dengan SK selaku Kepala Desa,” terangnya.
Terkait pemanggilan oleh penyidik Polres Bima, Ismail mengaku, akan menghadirinya dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
“Saya akui khilaf dan emosi karena tidak dihargai. Saya tidak akan lari dari persoalan ini dan akan menghadiri panggilan Kepolisian,” tegasnya.
Hanya saja, Ismail berharap ada solusi secara kekeluargaan atas persoalan ini mengingat antara dirinya dengan korban masih memiliki ikatan kekerabatan. (man)