BIMA-Kasus dugaan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang oleh tersangka eks Wali Kota Bima HML hingga kini belum ditetapkan tersangka lain.
Sangkaan pasal memberi ruang dan puluhan saksi, baik dari PNS lingkup Pemkot Bima, kontraktor maupun pihak swasta lain berkali-kali telah diperiksa oleh penyidik KPK.
“Terseretnya FB (mantan Ketua KPK) sebagai tersangka di Polda Metro Jaya, membuat saya bertanya-tanya jangan-jangan korban FB termasuk perkara korupsi mantan Wali Kota Bima,” duga praktisi hukum Sutrisno Aziz, SH., MH.
Karena itu, mantan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Mataram itu meminta kepada pimpinan KPK yang baru agar mengusut kemungkinan adanya dugaan gratifikasi atau pemerasan oleh FB terhadap tersangka HML atau para saksi yang berpotensi menjadi tersangka selama penanganan perkara tersebut di KPK.
“Hal ini perlu saya sampaikan setelah melihat progres penanganan perkara korupsi mantan Wali Kota Bima yang agak sedikit lamban,” tuturnya.
Selain lamban, penanganan perkara eks Wali Kota Bima ini hanya mendudukkan “satu tersangka saja”, apa iya karena belum cukup bukti untuk mentersangkakan yang lain.
“Ataukah sudah ada dugaan gratifikasi atau pemerasan terhadap saksi-saksi saat FB menjabat Ketua KPK, yang menyebabkan kasus ini seolah dilokalisir dengan menempatkan HML sebagai tersangka “tunggal”,” tanyanya.
Sutrisno mengatakan, bila memperhatikan pasal yang diterapkan KPK yakni pasal 12 huruf i dan/atau pasal 12B UU Tipikor, rasanya mustahil tindak pidana tersebut bisa diwujudkan sendiri oleh HML tanpa bantuan pihak lain.
“Apalagi perkara ini berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, yang sudah pasti melibatkan kumpulan banyak orang dalam satuan kerja dan kepanitiaan,” imbuhnya lagi.
Orang-orang ini, menurut Sutrisno, semestinya dapat didudukkan sebagai “pelaku penyerta”, apakah perannya hanya sebatas membantu atau bersama-sama dengan HML mewujudkan tidak pidana.
Demikian juga dengan penerapan pasal 12B UU Tipikor sebagai penerima gratifikasi, sambungnya lagi, semestinya ikut ditersangkakan pula pemberi gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) UU Tipikor.
Bukankah gratifikasi baru bisa terwujud setelah adanya interaksi langsung atau tidak langsung antara pemberi dan penerima gratifikasi, di sinilah kerancuannya.
“Sejauh ini KPK hanya menyematkan penerima gratifikasi saja sebagai tersangka sedangkan pemberi gratifikasinya tidak, rasanya agak sulit diterima akal sehat,” timpal advokat kondang ini.
Sutrisno melanjutkan, mengingat nilai gratifikasi atau suap yang diduga diterima oleh HML cukup signifikan sekitar Rp. 8,6 miliar, semestinya diproses berbarengan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Karena, tambah Sutrisno, instrumen hukum TPPU dengan sistem pembuktian terbaliknya, selain lebih mudah pembuktiannya juga efektif buat merampas hasil kejahatan korupsi untuk kas negara, atau mungkin KPK punya rencana lain.
“Misalnya melimpahkan atau menyidangkan dulu perkara korupsi baru kemudian TPPU-nya menyusul seperti yang dilakukan terhadap oknum atau mantan hakim agung GBS yang saat ini sedang diproses hukum di KPK,” ujarnya.
Sutrisno meminta, beberapa keganjilan proses penanganan perkara korupsi mantan Wali Kota Bima tersebut, dapat diatensi oleh KPK secepatnya.
“Sekali lagi saya meminta kepada pimpinan KPK yang baru agar bisa mendalami kembali kemungkinan adanya gratifikasi atau pemerasan yang diduga dilakukan oleh FB terhadap saksi-saksi yang berpotensi menjadi tersangka,” pintanya.
Sebab, tambah Sutrisno, boleh jadi korban dugaan pemerasan bukan hanya dialami oleh mantan menteri pertanian SYL tetapi juga dialami oleh korban korban lain selama FB memimpin KPK.
“Tidak terkecuali terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam perkara mantan Wali Kota Bima ini,” pungkas Koordinator komunitas P 55 J NTB itu. (man)